A. Selayang Pandang
Desa Tamanagung adalah salah satu sentra Kerajinan Pahat Batu yang cukup terkenal di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari 16 dusun yang ada di desa ini empat di antaranya mayoritas penduduknya bekerja sebagai perajin pahat batu. Keempat dusun tersebut adalah Dusun Ngawisan, Ngadiretno, Tejowarno, dan Prumpung. Dusun yang disebutkan terakhir ini merupakan cikal-bakal sentra Kerajinan Pahat Batu di Desa Tamanagung. Sejak dulu hingga sekarang dusun ini dikenal sebagai pemahat patung batu dengan menggunakan batu andesit sebagai bahan material utamanya. Dipilihnya batu andesit sebagai bahan material karena letak dusun ini berdekatan dengan lereng Gunung Merapi yang merupakan kawasan bebatuan yang melimpah ruah. Bebatuan tersebut berasal dari cairan lava panas yang tersembur dari dalam gunung lalu mengalir ke bawah, dan akhirnya membeku menjadi bebatuan.
Menurut cerita, bahan baku untuk pemugaran Candi Borobudur diambil dari Lereng Gunung Merapi tersebut. Ketika itu, Dusun Prumpung merupakan tempat transit bahan baku sebelum dibawa ke Candi Borobudur karena memang letaknya yang cukup strategis, yaitu berada tepat di tengah-tengah antara Lereng Gunung Merapi dengan Candi Borobudur. Pada tahun 1930, tiga orang pemahat batu dari Dusun Prumpung ini dipekerjakan oleh Theodoor Var Erp untuk memugar Candi Borobudur. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah Salim Djajapawiro. Dari keturunan Salim Djajapawiro inilah seni pahat batu mulai nampak dan berkembang di Dusun Prumpung.
Doelkamid Djajaprana atau yang akrab dipanggil Djayaprana adalah salah seorang putra Salim Djajapawiro yang disebut-sebut sebagai perintis kerajinan pahat batu di Dusun Prumpung pada tahun 1953. Berawal dari idenya, Djajaprana mengajak dua orang saudaranya Ali Rahmad dan Karin mencoba untuk memahat batu berbentuk kepala Buddha dengan mencontoh patung Buddha di Candi Borobobudur. Pada mulanya, mereka ragu-ragu untuk memulainya karena takut dianggap melanggar ajaran agama Buddha atau dianggap berdosa. Namun, dengan modal nekad, akhirnya berhasil membuat sebuah kepala patung Buddha yang sama persis patung Buddha di Borobudur. Alhasil, arca kepala Buddha buatan mereka berhasil dijual kepada seorang pedagang dari daerah Sumatera dengan harga Rp. 150,00. Berawal dari situlah, Djajaprana bersama kedua saudaranya mendirikan Sanggar Pahat Batu Sanjaya pada tahun 1960.
Pada mulanya, Djajaprana bersama kedua saudaranya masih memproduksi arca kepala Buddha di sanggar yang baru didirikannya. Tatkala ia mendapat dukungan dari Jenderal Gatot Subroto, usahanya pun kian berkibar dengan memproduksi berbagai bentuk kerajinan pahat batu berupa gapura. Melihat kesuksesan tersebut, warga di sekitarnya pun beramai-ramai ngangsu kaweruh (menimbah ilmu) kepada pria kelahiran tahun 1969 itu bersaudara sehingga Dusun Prumpung semakin ramai dengan perajin pahat batu. Sejak itulah, nama dusun ini diganti menjadi Sidoharjo. Kata “Sidoharjo” dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu sido yang berarti jadi, dan harjo yang berarti ramai. Jadi, Dusun Sidoharjo dapat diartikan sebagai dusun menjadi ramai.
Tidak hanya warga Sidoharjo, warga dari dusun lain di Tamanagung dan bahkan dari desa-desa sekitarnya pun ikut mengembangkan kerajinan pahat batu di daerah mereka. Mulai saat itu pertumbuhan sanggar pahat batu di Desa Tamanagung semakin menjamur setiap tahunnya. Dari tahun 1960-1970 telah berdiri sekitar 14 sanggar pemahat, kemudian tahun 1970-1980 bertambah menjadi 38 sanggar, dan sekitar 1980-1985 bertambah lagi menjadi 45 sanggar. Hingga saat ini, sekitar 5 km di sepanjang lingkar jalan Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat ratusan pemahat dan pengusaha kerajinan pahat batu, mulai dari yang muda hingga yang tua. Para perajin tersebut tidak hanya memproduksi berbagai kerajinan pahat batu dalam segala model, misalnya miniatur candi, patung Buddha, gupala, ganesha, patung antik Wisnu dan Siwa, cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, dan sebagainya.
Sekitar tahun 1970-an, seorang pemahat dari Bali bernama I Nyoman Alim Musthapa yang menikah dengan gadis Desa Sidoharjo memperkenalkan kreasi baru dengan gaya seni patung klasik Bali. Dengan kreasinya yang khas Bali tersebut, I Nyoman kemudian memperoleh pasar modern dengan membangun berbagai fasilitas hotel seperti Hotel Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan sebagainya. Demikian pula kreasi-kreasi para perajin dari Desa Sidoharjo juga mulai menyebar ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, dan bahkan diekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain.
Produk kerajinan pahat batu yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara yaitu berupa patung-patung klasik seperti patung Buddha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Pesanan dari mancanegara ini bisa mencapai satu kontainer. Sementara itu, wisatawan domestik lebih menyukai patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion. Jika sedang banjir pesanan, omset seorang pemilik sanggar yang dibantu oleh beberapa orang pemahat bisa mencapai ratusan juta rupiah perbulan.
Harga produk kerajinan pahat batu pun bervariasi, tergantung kualitas pembuatannya. Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya karena hasil pengerjaannya juga berbeda-beda, ada yang halus dan pula yang kurang. Yang jelas harga yang ditawarkan oleh para perajin tergantung pada jenis, ukuran, dan kualitas sebuah produk dengan harga mulai dari kisaran puluhan ribu hingga ratusan juta rupiah. Lampion misalnya, harganya berkisar antara 100-500 ribu rupiah, relief Borobudur per meter persegi dihargai 1-1,5 juta rupiah, patung gupala berukuran 80 cm dijual seharga 1,5-2 juta rupiah, sedangkan yang berukuran 1 meter dihargari sekitar 4-5 juta.
B. Keistimewaan
Desa Tamanagung adalah salah satu obyek wisata desa yang banyak diminati oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di desa ini terdapat ratusan sanggar pahat batu yang memproduksi berbagai jenis, bentuk, dan ukuran kerajinan pahat batu yang terbuat dari bahan alami seperti batu putih, batu granit, maupun batu lava (batu candi). Wisatawan tidak hanya disuguhkan hasil kerajinan pahat batu yang sudah jadi, tetapi juga dapat memesan langsung sesuai dengan selera pemesan. Bahkan, tidak jarang pemesan sudah mempunyai sampel atau desain produk untuk didiskusikan bersama pemahat pada saat pemesanan berlangsung.
Selain itu, para perajin pahat batu di desa ini mampu melayani pesanan patung untuk berbagai keperluan dengan variasi ketinggian mulai dari ukuran 50 cm hingga puluhan meter. Para perajin juga sering mendapat pesanan untuk membuat tiruan berbagai bangunan bersejarah di beberapa negera seperti Angkor Wat di Kamboja, Pagoda Dagong Shwe di Myanmar, atau Istana Potala di Tibet. Selain patung-patung klasik dan bangunan bersejarah, para perajin juga melayani pesanan patung untuk keperluan interior dan exterior hotel, perkantoran, biara, maupun klenteng.
Tidak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Desa Tamanagung juga dapat menyaksikan langsung para pemahat membuat berbagai kreasi kerajinan pahat batu. Di sana wisatawan dapat mengetahui bahwa untuk menghasilkan kreasi pahat batu, khususnya patung batu, yang bisa mengeluarkan aura tertentu memang tidaklah mudah, tetapi harus melalui tangan-tangan terampil para perajin, mempunyai jiwa seni serta perasaan yang halus dan ketulusan hati. Sebagai pekerja seni, imajinasi seorang perajin harus menjelajah ke mana saja, baik ke dunia mistis, etnis, religi, humor, bahkan ke hal-hal porno (menurut ukuran sebagian orang), demi menghasilkan karya seni yang mengagumkan.
Berkunjung ke desa ini, wisatawan juga dapat melihat berbagai teknik yang digunakan oleh para perajin dalam membuat kerajinan pahat batu. Seorang perajin terkadang menggunakan teknik tersendiri yang tidak digunakan oleh perajin lainnya. Misalnya untuk membuat kesan kuno pada sebuah patung atau arca, para perajin pada umumnya menggunakan bahan-bahan yang hampir sama yaitu berupa teh, kunyit, gambir, dan tanah liat. Namun, sebagian dari perajin, selain mencampurkan bahan-bahan tersebut juga menambahkannya dengan air accu (air aki) yang berfungsi untuk memperbesar pori-pori patung. Setelah berbagai bahan tersebut dioleskan ke seluruh permukaan patung, patung tersebut kemudian dibakar dengan kayu bakar. Teknik yang lebih unik lagi yaitu seusai dilumuri berbagai ramuan, patung tersebut dikubur di dalam tanah selama satu tahun lebih.
C. Lokasi
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung terletak di Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung sekitar 29 kilometer dari Yogyakarta, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur, atau lebih kurang 125 dari Kota Semarang. Dari arah Kota Yogyakarta, pengunjung dapat menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum, pengunjung dapat naik bus jurusan Yogyakarta-Semarang di Terminal Giwangan atau di Terminal Jombor.
E. Tiket
Wisatawan yang berkunjung ke Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas
Sentra Kerajinan Pahat Batu ini berada pada jalur perjalanan wisata menuju Candi Borobudur dan Semarang dari arah Kota Yogyakarta. Dengan demikian, wisatawan dapat dengan muda menemukan berbagai fasilitas seperti penginapan, hotel, warung makan, dan pusat oleh-oleh makanan khas Magelang di sepanjang lingkar jalan raya Yogyakarta-Muntilan-Semarang.
Teks: Samsuni
(Data primer dan berbagai sumber)
Desa Tamanagung adalah salah satu sentra Kerajinan Pahat Batu yang cukup terkenal di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari 16 dusun yang ada di desa ini empat di antaranya mayoritas penduduknya bekerja sebagai perajin pahat batu. Keempat dusun tersebut adalah Dusun Ngawisan, Ngadiretno, Tejowarno, dan Prumpung. Dusun yang disebutkan terakhir ini merupakan cikal-bakal sentra Kerajinan Pahat Batu di Desa Tamanagung. Sejak dulu hingga sekarang dusun ini dikenal sebagai pemahat patung batu dengan menggunakan batu andesit sebagai bahan material utamanya. Dipilihnya batu andesit sebagai bahan material karena letak dusun ini berdekatan dengan lereng Gunung Merapi yang merupakan kawasan bebatuan yang melimpah ruah. Bebatuan tersebut berasal dari cairan lava panas yang tersembur dari dalam gunung lalu mengalir ke bawah, dan akhirnya membeku menjadi bebatuan.
Menurut cerita, bahan baku untuk pemugaran Candi Borobudur diambil dari Lereng Gunung Merapi tersebut. Ketika itu, Dusun Prumpung merupakan tempat transit bahan baku sebelum dibawa ke Candi Borobudur karena memang letaknya yang cukup strategis, yaitu berada tepat di tengah-tengah antara Lereng Gunung Merapi dengan Candi Borobudur. Pada tahun 1930, tiga orang pemahat batu dari Dusun Prumpung ini dipekerjakan oleh Theodoor Var Erp untuk memugar Candi Borobudur. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah Salim Djajapawiro. Dari keturunan Salim Djajapawiro inilah seni pahat batu mulai nampak dan berkembang di Dusun Prumpung.
Doelkamid Djajaprana atau yang akrab dipanggil Djayaprana adalah salah seorang putra Salim Djajapawiro yang disebut-sebut sebagai perintis kerajinan pahat batu di Dusun Prumpung pada tahun 1953. Berawal dari idenya, Djajaprana mengajak dua orang saudaranya Ali Rahmad dan Karin mencoba untuk memahat batu berbentuk kepala Buddha dengan mencontoh patung Buddha di Candi Borobobudur. Pada mulanya, mereka ragu-ragu untuk memulainya karena takut dianggap melanggar ajaran agama Buddha atau dianggap berdosa. Namun, dengan modal nekad, akhirnya berhasil membuat sebuah kepala patung Buddha yang sama persis patung Buddha di Borobudur. Alhasil, arca kepala Buddha buatan mereka berhasil dijual kepada seorang pedagang dari daerah Sumatera dengan harga Rp. 150,00. Berawal dari situlah, Djajaprana bersama kedua saudaranya mendirikan Sanggar Pahat Batu Sanjaya pada tahun 1960.
Pada mulanya, Djajaprana bersama kedua saudaranya masih memproduksi arca kepala Buddha di sanggar yang baru didirikannya. Tatkala ia mendapat dukungan dari Jenderal Gatot Subroto, usahanya pun kian berkibar dengan memproduksi berbagai bentuk kerajinan pahat batu berupa gapura. Melihat kesuksesan tersebut, warga di sekitarnya pun beramai-ramai ngangsu kaweruh (menimbah ilmu) kepada pria kelahiran tahun 1969 itu bersaudara sehingga Dusun Prumpung semakin ramai dengan perajin pahat batu. Sejak itulah, nama dusun ini diganti menjadi Sidoharjo. Kata “Sidoharjo” dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu sido yang berarti jadi, dan harjo yang berarti ramai. Jadi, Dusun Sidoharjo dapat diartikan sebagai dusun menjadi ramai.
Tidak hanya warga Sidoharjo, warga dari dusun lain di Tamanagung dan bahkan dari desa-desa sekitarnya pun ikut mengembangkan kerajinan pahat batu di daerah mereka. Mulai saat itu pertumbuhan sanggar pahat batu di Desa Tamanagung semakin menjamur setiap tahunnya. Dari tahun 1960-1970 telah berdiri sekitar 14 sanggar pemahat, kemudian tahun 1970-1980 bertambah menjadi 38 sanggar, dan sekitar 1980-1985 bertambah lagi menjadi 45 sanggar. Hingga saat ini, sekitar 5 km di sepanjang lingkar jalan Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat ratusan pemahat dan pengusaha kerajinan pahat batu, mulai dari yang muda hingga yang tua. Para perajin tersebut tidak hanya memproduksi berbagai kerajinan pahat batu dalam segala model, misalnya miniatur candi, patung Buddha, gupala, ganesha, patung antik Wisnu dan Siwa, cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, dan sebagainya.
Sekitar tahun 1970-an, seorang pemahat dari Bali bernama I Nyoman Alim Musthapa yang menikah dengan gadis Desa Sidoharjo memperkenalkan kreasi baru dengan gaya seni patung klasik Bali. Dengan kreasinya yang khas Bali tersebut, I Nyoman kemudian memperoleh pasar modern dengan membangun berbagai fasilitas hotel seperti Hotel Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan sebagainya. Demikian pula kreasi-kreasi para perajin dari Desa Sidoharjo juga mulai menyebar ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, dan bahkan diekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain.
Produk kerajinan pahat batu yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara yaitu berupa patung-patung klasik seperti patung Buddha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Pesanan dari mancanegara ini bisa mencapai satu kontainer. Sementara itu, wisatawan domestik lebih menyukai patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion. Jika sedang banjir pesanan, omset seorang pemilik sanggar yang dibantu oleh beberapa orang pemahat bisa mencapai ratusan juta rupiah perbulan.
Harga produk kerajinan pahat batu pun bervariasi, tergantung kualitas pembuatannya. Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya karena hasil pengerjaannya juga berbeda-beda, ada yang halus dan pula yang kurang. Yang jelas harga yang ditawarkan oleh para perajin tergantung pada jenis, ukuran, dan kualitas sebuah produk dengan harga mulai dari kisaran puluhan ribu hingga ratusan juta rupiah. Lampion misalnya, harganya berkisar antara 100-500 ribu rupiah, relief Borobudur per meter persegi dihargai 1-1,5 juta rupiah, patung gupala berukuran 80 cm dijual seharga 1,5-2 juta rupiah, sedangkan yang berukuran 1 meter dihargari sekitar 4-5 juta.
B. Keistimewaan
Desa Tamanagung adalah salah satu obyek wisata desa yang banyak diminati oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di desa ini terdapat ratusan sanggar pahat batu yang memproduksi berbagai jenis, bentuk, dan ukuran kerajinan pahat batu yang terbuat dari bahan alami seperti batu putih, batu granit, maupun batu lava (batu candi). Wisatawan tidak hanya disuguhkan hasil kerajinan pahat batu yang sudah jadi, tetapi juga dapat memesan langsung sesuai dengan selera pemesan. Bahkan, tidak jarang pemesan sudah mempunyai sampel atau desain produk untuk didiskusikan bersama pemahat pada saat pemesanan berlangsung.
Selain itu, para perajin pahat batu di desa ini mampu melayani pesanan patung untuk berbagai keperluan dengan variasi ketinggian mulai dari ukuran 50 cm hingga puluhan meter. Para perajin juga sering mendapat pesanan untuk membuat tiruan berbagai bangunan bersejarah di beberapa negera seperti Angkor Wat di Kamboja, Pagoda Dagong Shwe di Myanmar, atau Istana Potala di Tibet. Selain patung-patung klasik dan bangunan bersejarah, para perajin juga melayani pesanan patung untuk keperluan interior dan exterior hotel, perkantoran, biara, maupun klenteng.
Tidak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Desa Tamanagung juga dapat menyaksikan langsung para pemahat membuat berbagai kreasi kerajinan pahat batu. Di sana wisatawan dapat mengetahui bahwa untuk menghasilkan kreasi pahat batu, khususnya patung batu, yang bisa mengeluarkan aura tertentu memang tidaklah mudah, tetapi harus melalui tangan-tangan terampil para perajin, mempunyai jiwa seni serta perasaan yang halus dan ketulusan hati. Sebagai pekerja seni, imajinasi seorang perajin harus menjelajah ke mana saja, baik ke dunia mistis, etnis, religi, humor, bahkan ke hal-hal porno (menurut ukuran sebagian orang), demi menghasilkan karya seni yang mengagumkan.
Berkunjung ke desa ini, wisatawan juga dapat melihat berbagai teknik yang digunakan oleh para perajin dalam membuat kerajinan pahat batu. Seorang perajin terkadang menggunakan teknik tersendiri yang tidak digunakan oleh perajin lainnya. Misalnya untuk membuat kesan kuno pada sebuah patung atau arca, para perajin pada umumnya menggunakan bahan-bahan yang hampir sama yaitu berupa teh, kunyit, gambir, dan tanah liat. Namun, sebagian dari perajin, selain mencampurkan bahan-bahan tersebut juga menambahkannya dengan air accu (air aki) yang berfungsi untuk memperbesar pori-pori patung. Setelah berbagai bahan tersebut dioleskan ke seluruh permukaan patung, patung tersebut kemudian dibakar dengan kayu bakar. Teknik yang lebih unik lagi yaitu seusai dilumuri berbagai ramuan, patung tersebut dikubur di dalam tanah selama satu tahun lebih.
C. Lokasi
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung terletak di Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung sekitar 29 kilometer dari Yogyakarta, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur, atau lebih kurang 125 dari Kota Semarang. Dari arah Kota Yogyakarta, pengunjung dapat menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum, pengunjung dapat naik bus jurusan Yogyakarta-Semarang di Terminal Giwangan atau di Terminal Jombor.
E. Tiket
Wisatawan yang berkunjung ke Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas
Sentra Kerajinan Pahat Batu ini berada pada jalur perjalanan wisata menuju Candi Borobudur dan Semarang dari arah Kota Yogyakarta. Dengan demikian, wisatawan dapat dengan muda menemukan berbagai fasilitas seperti penginapan, hotel, warung makan, dan pusat oleh-oleh makanan khas Magelang di sepanjang lingkar jalan raya Yogyakarta-Muntilan-Semarang.
Teks: Samsuni
(Data primer dan berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar